{"title":"The 1629 Acehnese Invasion of Malacca: A Eurasian Perspective","authors":"D. Wijaya","doi":"10.15294/paramita.v32i2.36883","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"The rising tension in the Straits of Malacca in the first half of the 17th century forced the political entities to make an ally on one side and invade other states on the other side. Acehnese Sultanate succeeded in capturing all Malay states, except for Malacca. The desire to control the straits forced them to make an assault. Interestingly, the 1629 Acehnese siege of Malacca was perceived differently. The Acehnese chronicles seem to be quiet except for the Bustan Al-Salatin. However, the European sources are proud to explain the Portuguese victory over the greatest fleet in Asia. The available Eurasian sources should be exploited to cross-check the historical data and narrate more accurately. The siege started when the Acehnese were anchored and fortified. However, they succeeded in surrounding the fortress for a month, but the Luso-Malay joint forces could counter-attack and drive them out from Malacca. The Portuguese relief forces continued to patrol the straits after the Acehnese failure. Unfortunately, the death of Nuno Alvares Botelho in the tragedy of the Dutch ship’s explosion forced the Portuguese to bury their dream of securing the mercantile route of India and China from the Dutch threat. Meningkatnya tensi di Selat Melaka di pertengahan paruh pertama abad 17 telah mendorong entitas politik untuk membuat sekutu dalam satu sisi dan melakukan invasi pada negara lain pada sisi yang lain. Kesultanan Aceh berhasil mencaplok semua negara Melayu kecuali Melaka. Keinginan kuat untuk mengontrol selat memaksa mereka untuk melakukan serangan. Menariknya, penyerbuan Aceh di Melaka tahun 1629 dilihat secara berbeda. Hikayat-hikayat Aceh terlihat diam kecuali the Bustan Al-Salatin, tetapi sumber Eropa dengan bangga menjelaskan kemenangan Portugis atas armada terbesar yang pernah ada di Asia. Ketersediaan sumber-sumber Eropa dan Asia seharusnya dieksploitasi bukan hanya untuk proses verifikasi sumber data tetapi juga untuk menarasikan lebih akurat. Penyerbuan dimulai ketika Aceh mendarat dan membuat benteng. Walaupun mereka, berhasil mengepung benteng Melaka selama sebulan tetapi pasukan gabungan Luso-Melayu dapat memukul balik and menendang mereka keluar. Pasukan penyelamat Portugis terus melanjutkan tugasnya untuk melakukan patroli di selat setelah kegagalan Aceh. Sayangnya, kematian Nuno Alvares Botelho dalam tragedi meletusnya kapal Belanda memaksa orang-orang Portugis mengubur impiannya untuk mengamankan jalur perdagangan India dan China dari ancaman Belanda. Cite this article: Wijaya, D.N. (2022). The 1629 Acehnese Invasion of Malacca: A Eurasian Perspective. Paramita: Historical Studies Journal, 32(2), 221-229. http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v32i2.36883 ","PeriodicalId":30724,"journal":{"name":"Paramita Historical Studies Journal","volume":" ","pages":""},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-09-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Paramita Historical Studies Journal","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.15294/paramita.v32i2.36883","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
The rising tension in the Straits of Malacca in the first half of the 17th century forced the political entities to make an ally on one side and invade other states on the other side. Acehnese Sultanate succeeded in capturing all Malay states, except for Malacca. The desire to control the straits forced them to make an assault. Interestingly, the 1629 Acehnese siege of Malacca was perceived differently. The Acehnese chronicles seem to be quiet except for the Bustan Al-Salatin. However, the European sources are proud to explain the Portuguese victory over the greatest fleet in Asia. The available Eurasian sources should be exploited to cross-check the historical data and narrate more accurately. The siege started when the Acehnese were anchored and fortified. However, they succeeded in surrounding the fortress for a month, but the Luso-Malay joint forces could counter-attack and drive them out from Malacca. The Portuguese relief forces continued to patrol the straits after the Acehnese failure. Unfortunately, the death of Nuno Alvares Botelho in the tragedy of the Dutch ship’s explosion forced the Portuguese to bury their dream of securing the mercantile route of India and China from the Dutch threat. Meningkatnya tensi di Selat Melaka di pertengahan paruh pertama abad 17 telah mendorong entitas politik untuk membuat sekutu dalam satu sisi dan melakukan invasi pada negara lain pada sisi yang lain. Kesultanan Aceh berhasil mencaplok semua negara Melayu kecuali Melaka. Keinginan kuat untuk mengontrol selat memaksa mereka untuk melakukan serangan. Menariknya, penyerbuan Aceh di Melaka tahun 1629 dilihat secara berbeda. Hikayat-hikayat Aceh terlihat diam kecuali the Bustan Al-Salatin, tetapi sumber Eropa dengan bangga menjelaskan kemenangan Portugis atas armada terbesar yang pernah ada di Asia. Ketersediaan sumber-sumber Eropa dan Asia seharusnya dieksploitasi bukan hanya untuk proses verifikasi sumber data tetapi juga untuk menarasikan lebih akurat. Penyerbuan dimulai ketika Aceh mendarat dan membuat benteng. Walaupun mereka, berhasil mengepung benteng Melaka selama sebulan tetapi pasukan gabungan Luso-Melayu dapat memukul balik and menendang mereka keluar. Pasukan penyelamat Portugis terus melanjutkan tugasnya untuk melakukan patroli di selat setelah kegagalan Aceh. Sayangnya, kematian Nuno Alvares Botelho dalam tragedi meletusnya kapal Belanda memaksa orang-orang Portugis mengubur impiannya untuk mengamankan jalur perdagangan India dan China dari ancaman Belanda. Cite this article: Wijaya, D.N. (2022). The 1629 Acehnese Invasion of Malacca: A Eurasian Perspective. Paramita: Historical Studies Journal, 32(2), 221-229. http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v32i2.36883
17世纪上半叶,马六甲海峡日益紧张的局势迫使政治实体一边结盟,另一边入侵其他国家。亚齐苏丹国成功占领了除马六甲以外的所有马来州。控制海峡的欲望迫使他们发动进攻。有趣的是,1629年亚齐人围攻马六甲的看法却不同。亚齐编年史似乎是安静的,除了布斯坦Al-Salatin。然而,欧洲的消息来源很自豪地解释葡萄牙战胜了亚洲最强大的舰队。应该利用现有的欧亚资源来交叉核对历史数据,并更准确地叙述。围攻开始时,亚齐人锚定和加强。然而,他们成功地包围了堡垒一个月,但卢马联军可以反击并将他们赶出马六甲。亚齐失败后,葡萄牙救援部队继续在海峡巡逻。不幸的是,努诺·阿尔瓦雷斯·博特略(Nuno Alvares Botelho)在荷兰船只爆炸的悲剧中丧生,迫使葡萄牙人埋葬了他们保护印度和中国商业航线免受荷兰威胁的梦想。这句话的意思是:“马六甲,我是说马六甲,我是说马六甲,我是说马六甲,我是说马六甲。”马六甲:Kesultanan Aceh berhasil mencatplok semua negara Melayu kecuali Melaka。Keinginan, kukutuk,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都,孟山都。马六甲,亚齐,亚齐,马六甲,亚齐,亚齐,马六甲,亚齐,亚齐,马六甲,亚齐,马六甲,亚齐,马六甲,亚齐,马六甲Hikayat-hikayat Aceh terlihat diam kecuali Bustan Al-Salatin, tetapi sumber Eropa dengan banga menjelaskan kemenangan Portugis as armada terbesar yang pernah ada di Asia。Ketersediaan sumper - sumper欧洲和亚洲seharusnya dieksploitasi bukan hanya untuk过程验证kasi sumper数据tetapi juga untuk menarasikan lebih akurat。Penyerbuan dimulai ketika亚齐mendarat dan benteng。Walaupun mereka, berhasil mengepung benteng马六甲selama sebulan tetapi pasukan gabungan Luso-Melayu dapat memukul balik和menendang mereka keluar。在亚齐省,葡萄牙人有一种特殊的生活方式,那就是在亚齐省。萨扬尼亚,kematian Nuno Alvares Botelho dalam tragedi meletusnya kapal Belanda memaksa橙色,橙色,橙色,葡萄牙,mengubur impiannya untuk mengamankan jalur perdagangan印度和中国,dari andaman Belanda。引用本文:Wijaya, D.N.(2022)。1629年亚齐人入侵马六甲:欧亚视角。历史研究,32(2),221-229。http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v32i2.36883