{"title":"PENGEMBANGAN PROGRAM CARE (CARING, RESPECT AND EDUCATE) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM","authors":"Qori Fanani","doi":"10.46773/.v1i1.104","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Cyberbullying tidak kalah kejamnya dengan bullying itu sendiri. Karena cyberbullying bisa dilakukan dalam waktu 24 jam karena bisa dilakukan melalui teknologi informasi seperti, sms, WA ataupun pesan melalui media sosial yang bisa dilakukan setiap waktu sesuai yang dikehendaki pelaku bahkan tengah malam. Serta bisa terjadi di mana saja, tidak hanya pada tempat-tempat tertentu seperti sekolah, tempat sepi atau rawan. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangkan program CARE sebagai upaya pencegahan perilaku cyberbullying khususnya pada remaja. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan pretest posttest control group design dengan subjek remaja (siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VII) yang berjumlah 56 responden yang memiliki kriteria minimum 6 bulan terakhir aktif menggunakan media sosial dan mencapai skor skala perilaku cyberbullying dalam kategori sedang. Responden dibagi menjadi 2 kelompok sama rata yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner berjenis likert dan pengunaan modul Program CARE (CAring, Respect and Educate). Modul CARE Data yang diperoleh menunjukkan bahwa: hasil prestest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,149 sehingga dapat dikatakan tidak signifikan (0,149 > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa program CARE cukup efektif sebagai upaya pencegahan perilaku cyberbullying pada remaja. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni tidak terdapat unsur yang jelas mengenai cyberbullying. Hanya terdapat unsur penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan. Jika melihat dari definisi cyberbullying yang menitikberatkan pada pengancaman kekerasan secara verbal, sanksi bagi pelaku tindak kejahatan cyberbullying dikenakan pasal 29 Undang-Undang ITE. Pasal ini mempunyai sanksi pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45B yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dalam perspektif hukum pidana Islam, hukuman bagi pelaku cyberbullying yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam. Tindak pidana cyberbullying telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam jarîmah ta’zîr yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ melainkan diserahkan kepada ulil amri (penguasa), baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Karena ta’zîr tidak ditentukan secara langsung oleh Alquran dan hadis, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat.","PeriodicalId":165003,"journal":{"name":"USRAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam","volume":"22 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-11-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"USRAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.46773/.v1i1.104","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Cyberbullying tidak kalah kejamnya dengan bullying itu sendiri. Karena cyberbullying bisa dilakukan dalam waktu 24 jam karena bisa dilakukan melalui teknologi informasi seperti, sms, WA ataupun pesan melalui media sosial yang bisa dilakukan setiap waktu sesuai yang dikehendaki pelaku bahkan tengah malam. Serta bisa terjadi di mana saja, tidak hanya pada tempat-tempat tertentu seperti sekolah, tempat sepi atau rawan. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangkan program CARE sebagai upaya pencegahan perilaku cyberbullying khususnya pada remaja. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan pretest posttest control group design dengan subjek remaja (siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VII) yang berjumlah 56 responden yang memiliki kriteria minimum 6 bulan terakhir aktif menggunakan media sosial dan mencapai skor skala perilaku cyberbullying dalam kategori sedang. Responden dibagi menjadi 2 kelompok sama rata yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner berjenis likert dan pengunaan modul Program CARE (CAring, Respect and Educate). Modul CARE Data yang diperoleh menunjukkan bahwa: hasil prestest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,149 sehingga dapat dikatakan tidak signifikan (0,149 > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa program CARE cukup efektif sebagai upaya pencegahan perilaku cyberbullying pada remaja. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni tidak terdapat unsur yang jelas mengenai cyberbullying. Hanya terdapat unsur penghinaan, pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan. Jika melihat dari definisi cyberbullying yang menitikberatkan pada pengancaman kekerasan secara verbal, sanksi bagi pelaku tindak kejahatan cyberbullying dikenakan pasal 29 Undang-Undang ITE. Pasal ini mempunyai sanksi pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45B yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dalam perspektif hukum pidana Islam, hukuman bagi pelaku cyberbullying yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam. Tindak pidana cyberbullying telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam jarîmah ta’zîr yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ melainkan diserahkan kepada ulil amri (penguasa), baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Karena ta’zîr tidak ditentukan secara langsung oleh Alquran dan hadis, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat.