ANALISIS YURIDIS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

RIO LAW JURNAL Pub Date : 2015-03-17 DOI:10.36355/.v1i1.327
Khaidir Saleh
{"title":"ANALISIS YURIDIS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN PADA TINDAK PIDANA KORUPSI","authors":"Khaidir Saleh","doi":"10.36355/.v1i1.327","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Yang melandasi dasar kebijakan perumusan pembalikan beban pembuktian dalam peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37 A, dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 tahun 2001 terdapat ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembalikan beban pembuktian ketentuan Pasal 12B dari Perspektif perumusan unsur delik dicantumkan secara lengkap dan jelas (Materiele Feit) dalam suatu pasal sehingga membawa implikasi yuridis, jaksa penuntut umum imperative membuktikan perumusan delik tersebut, karena seluruh bagian inti delik tersebut sehingga  yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kemudian ketentuan Pasal 37 senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian karena dicantumkan atau tidak norma Pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan.                 Ketentuan pasal 38B hanya ditujukan terhadap pembalikan beban pembuktian untuk harta banda yang belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhklan terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) Huruf (a) UU nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, khusus terhadap gratifikasi jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, begitupun sebaliknya terdakwa tidak dapat dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Pasca berlakuknya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi  2003 (KAK 2003) diperlukan suatu modifikasi perumusan norma pembalikan beban pembuktian yang bersifat preventif, represif, dan restorative.                 Penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 belum efektif karena belum diperkuat oleh hukum acara tersendiri sehingga dalam proses persidangan perkara korupsi hakim belum dapat menerapkan ketentuan tersebut. Didalam praktik proses pembalikan beban pembuktian dalam UU  Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001 belum dapat digunakan sebagai sarana hukum untuk mempercepat proses pemulihan kerugian/perekonomian Negara (Asset Recovery).                 Faktor yang menghambat pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi adalah pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di dalam hukum, danhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara profesional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimafaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengusut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya peran serta masyarakat. Kata kunci : Analisis Yuridis,  Pembalikan Beban Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi.","PeriodicalId":395725,"journal":{"name":"RIO LAW JURNAL","volume":"11 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2015-03-17","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"RIO LAW JURNAL","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.36355/.v1i1.327","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0

Abstract

Yang melandasi dasar kebijakan perumusan pembalikan beban pembuktian dalam peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37 A, dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 tahun 2001 terdapat ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembalikan beban pembuktian ketentuan Pasal 12B dari Perspektif perumusan unsur delik dicantumkan secara lengkap dan jelas (Materiele Feit) dalam suatu pasal sehingga membawa implikasi yuridis, jaksa penuntut umum imperative membuktikan perumusan delik tersebut, karena seluruh bagian inti delik tersebut sehingga  yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kemudian ketentuan Pasal 37 senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian karena dicantumkan atau tidak norma Pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan.                 Ketentuan pasal 38B hanya ditujukan terhadap pembalikan beban pembuktian untuk harta banda yang belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok (Pasal 37A ayat (3)) dan tidak dapat dijatuhklan terhadap gratifikasi sesuai ketentuan Pasal 12B ayat (1) Huruf (a) UU nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, khusus terhadap gratifikasi jaksa penuntut umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, begitupun sebaliknya terdakwa tidak dapat dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Pasca berlakuknya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi  2003 (KAK 2003) diperlukan suatu modifikasi perumusan norma pembalikan beban pembuktian yang bersifat preventif, represif, dan restorative.                 Penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 belum efektif karena belum diperkuat oleh hukum acara tersendiri sehingga dalam proses persidangan perkara korupsi hakim belum dapat menerapkan ketentuan tersebut. Didalam praktik proses pembalikan beban pembuktian dalam UU  Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001 belum dapat digunakan sebagai sarana hukum untuk mempercepat proses pemulihan kerugian/perekonomian Negara (Asset Recovery).                 Faktor yang menghambat pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi adalah pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di dalam hukum, danhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara profesional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimafaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengusut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya peran serta masyarakat. Kata kunci : Analisis Yuridis,  Pembalikan Beban Pembuktian, Tindak Pidana Korupsi.
分析司法管辖区对腐败行为的举证责任
中制定政策逆转举证责任的基本规则基础的腐败重罪印尼化妆品柜台,一章一章的条款中设置37章、第37章A和乔38B自1999年31号法案自2001年20号法案有模糊和不和谐的提法从制定的角度规范举证责任一章规定化妆品柜台逆转元素列出收到完整而清晰地感受到(Materiele)一章,以至于把管辖权的含义检察官的永动机证明了delik的提法,因为delik的整个核心,因此没有证据证明它。那么第37条第化合物的条款并不是举证责任的逆转,因为这些条款所载的或不允许被告为指控辩护。38B章规定只是针对举证责任倒置的财富达并没有didakwakan基本只能撤销对重罪(37A章(3)节),也可以对酬金dijatuhklan按字母12B条款第(1)节(a) 31号法案1999年乔自2001年20号法案。因此,针对酬金的检察官不能没收一名涉嫌腐败行为的罪犯的财产,也不能指控被告撤销其财产的举证责任。《2003年反腐败联合国公约》(KAK 2003)执行后,需要对预防、镇压和恢复的可视负载修正。根据1999年的《消除腐败罪行法》第31条,根据2001年的《消除腐败罪行法》,《20号法》的适用范围仍然有效,因为该法案没有得到单独的立法加以加强,因此法官腐败案件的审判过程中未能实施该条款。在1999年修订的《21号法案》中,举报人的举报人负担逆转过程中,2001年《20号法案》还不能作为加速失去/经济复苏进程的法律手段。阻碍腐败罪行举证责任逆转的因素是相反的证据,除非证明被告或被告是无辜的,否则他被认为是有罪的。有关侵犯人权的权利在法律上被认为是一个人的权利,以及在法律基础上被放弃的权利,尽管官员的财富报告的规则已经存在,如果这一原则的专业应用不可能产生这种原则的话。由于证据不足或证据不足,被告可以很容易地摆脱困境。尽管有这些弱点的存在缺乏系统的efektifan这个乱七八糟的证据也在,因为反向证明了系统中存在的障碍,通常dimafaatkan被告声称他是无辜的进行腐败,缺乏专家来调查腐败案,还是数量的法官和检察官不干净,缺乏公众参与。关键词:分析管辖权,举证责任逆转,腐败重罪。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
求助全文
约1分钟内获得全文 求助全文
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
0
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:604180095
Book学术官方微信