{"title":"IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 20/PUU-XIV/ 2016 TERHADAP PEMBUKTIAN PERDATA DI INDONESIA","authors":"Fitria Dewi Navisa, Aldi Yudistira","doi":"10.37090/keadilan.v21i1.708","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstrak \nMahkamah Konstitusi pada tahun 2016 menjatuhkan putusannya No. 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Frasa “Informasi Elekronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Dengan diakuinya bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah di persidangan merupakan perluasan makna dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, serta berdasarkan pemberian interprestasi oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian dan kejelasan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, (conseptual approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diterima sebagai alat bukti dalam hukum acara yang berlaku. Ketentuan tersebut juga memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa; “Dokumen Perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah†dan memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital. \n \n Kata Kunci : Pembuktian, alat bukti, Putusan Mahkamah Konstitusi \n ","PeriodicalId":143961,"journal":{"name":"Keadilan","volume":null,"pages":null},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-02-19","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Keadilan","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.37090/keadilan.v21i1.708","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Abstrak
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016 menjatuhkan putusannya No. 20/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Frasa “Informasi Elekronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Dengan diakuinya bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah di persidangan merupakan perluasan makna dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, serta berdasarkan pemberian interprestasi oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian dan kejelasan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, (conseptual approach), pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan permasalahan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya diterima sebagai alat bukti dalam hukum acara yang berlaku. Ketentuan tersebut juga memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menyatakan bahwa; “Dokumen Perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah†dan memperkuat pengaturan tentang alat bukti dalam bentuk digital.
Kata Kunci : Pembuktian, alat bukti, Putusan Mahkamah Konstitusi