{"title":"PRAKTIK PENGGARAPAN LAHAN DENGAN SISTEM BAGI HASIL DI DESA BUKIT HARAPAN KECAMATAN WANGGARASI KABUPATEN POHUWATO","authors":"Nasrullah Nasrullah, M. Safir","doi":"10.24260/klr.v1i2.104","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Abstrak \nTanah memiliki fungsi ganda yakni sebagai aset sosial dan modal sosial yang terletak pada hak-hak atas tanah yang bersifat tetap di dalam UUPA. Namun, aturan tersebut masih mengakui keberadaan hak atas tanah yang bersifat sementara, yakni hak usaha bagi hasil yang melibatkan antara pemilik tanah atau lahan dengan penggarap sebagaimana diatur di dalam UUPBH. Salah satu daerah yang masyarakatnya masih mempraktikkan usaha bagi hasil adalah di Desa Bukit Harapan, Kecamatan Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato. Daerah tersebut termasuk rawan konflik atau kerap terjadi sengketa usaha bagi hasil sehingga tujuan penelitian ini untuk mengetahui praktik usaha bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat di desa tersebut dan untuk mengetahui model penyelesaian sengketa yang selama ini dilakukan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perjanjian penguasaan tanah masih dilakukan kesepakatan secara lisan tanpa melibatkan pemerintah desa sehingga pada praktiknnya tidak sesuai dengan UUPBH. Konflik yang sering terjadi dikarenakan penggarap sering menanam tanaman jangka panjang tanpa sepengetahuan pemilik lahan dan beberapa penggarap dianggap melakukan wanprestasi. Terkait upaya penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah mengingat aparat pemerintah desa mengupayakan jalan keluar yang bijak. Jika penggarap melakukan wanprestasi maka akan diukur faktor-faktor yang menyebabkan wanprestasi, misalnya faktor alam, faktor kesuburan tanah, dan faktor lainnya. \nAbstract \nThe land has a dual function, namely as a social asset and social capital which lies in land rights which are permanent in the Basic Agrarian Law. However, this regulation still recognizes the existence of temporary land rights, namely production sharing business rights involving landowners and tenants as stipulated in the Production Sharing Agreement Law. One of the areas where the community is still practicing profit sharing is in Bukit Harapan Village, Wanggarasi District, Pohuwato Regency. This area is prone to conflict or profit-sharing business disputes frequently so that the purpose of this study is to find out the profit-sharing business practices carried out by the community in the village and to find out the dispute resolution model that has been carried out so far. The research method used is empirical legal research. The results of the study revealed that the land tenure agreement was still carried out by verbal agreement without involving the village government so that in practice it was not following the Production Sharing Agreement Law. Conflicts that often occur are because tenants often plant long-term crops without the knowledge of the landowner and some cultivators are considered to have defaulted. Regarding dispute resolution efforts carried out through deliberation, considering that village government officials are striving for a wise solution. If the cultivator defaults, then the factors that cause the default will be measured, for example, natural factors, soil fertility factors, and other factors.","PeriodicalId":331642,"journal":{"name":"Khatulistiwa Law Review","volume":"5 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-11-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Khatulistiwa Law Review","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24260/klr.v1i2.104","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Abstrak
Tanah memiliki fungsi ganda yakni sebagai aset sosial dan modal sosial yang terletak pada hak-hak atas tanah yang bersifat tetap di dalam UUPA. Namun, aturan tersebut masih mengakui keberadaan hak atas tanah yang bersifat sementara, yakni hak usaha bagi hasil yang melibatkan antara pemilik tanah atau lahan dengan penggarap sebagaimana diatur di dalam UUPBH. Salah satu daerah yang masyarakatnya masih mempraktikkan usaha bagi hasil adalah di Desa Bukit Harapan, Kecamatan Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato. Daerah tersebut termasuk rawan konflik atau kerap terjadi sengketa usaha bagi hasil sehingga tujuan penelitian ini untuk mengetahui praktik usaha bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat di desa tersebut dan untuk mengetahui model penyelesaian sengketa yang selama ini dilakukan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perjanjian penguasaan tanah masih dilakukan kesepakatan secara lisan tanpa melibatkan pemerintah desa sehingga pada praktiknnya tidak sesuai dengan UUPBH. Konflik yang sering terjadi dikarenakan penggarap sering menanam tanaman jangka panjang tanpa sepengetahuan pemilik lahan dan beberapa penggarap dianggap melakukan wanprestasi. Terkait upaya penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah mengingat aparat pemerintah desa mengupayakan jalan keluar yang bijak. Jika penggarap melakukan wanprestasi maka akan diukur faktor-faktor yang menyebabkan wanprestasi, misalnya faktor alam, faktor kesuburan tanah, dan faktor lainnya.
Abstract
The land has a dual function, namely as a social asset and social capital which lies in land rights which are permanent in the Basic Agrarian Law. However, this regulation still recognizes the existence of temporary land rights, namely production sharing business rights involving landowners and tenants as stipulated in the Production Sharing Agreement Law. One of the areas where the community is still practicing profit sharing is in Bukit Harapan Village, Wanggarasi District, Pohuwato Regency. This area is prone to conflict or profit-sharing business disputes frequently so that the purpose of this study is to find out the profit-sharing business practices carried out by the community in the village and to find out the dispute resolution model that has been carried out so far. The research method used is empirical legal research. The results of the study revealed that the land tenure agreement was still carried out by verbal agreement without involving the village government so that in practice it was not following the Production Sharing Agreement Law. Conflicts that often occur are because tenants often plant long-term crops without the knowledge of the landowner and some cultivators are considered to have defaulted. Regarding dispute resolution efforts carried out through deliberation, considering that village government officials are striving for a wise solution. If the cultivator defaults, then the factors that cause the default will be measured, for example, natural factors, soil fertility factors, and other factors.