{"title":"BIAS GENDER DAN KEKERASAN DOMESTIK","authors":"S. Sakaruddin","doi":"10.24252/jsipakallebbi.v3i2.11776","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Relasi gender mewujud sebagai diskursus “sengit” di banyak ruang akademik, ruang politik, dan di ruang kebudayaan. Aktor sentrisnya adalah dualitas entitas yang senantiasa didudukkan secara tidak berkeadilan. Laki-laki mengekspresikan dririnya sebagai symbol supremasi yang hegemonik dan perempuan ditampilkan sebagai figur yang tersubordinasi. Dalam kondisi ini, relasi gender dipandang sebagai kondisi yang timpang dan bias gender. Pertanyaan paling mendasar adalah dimana akar rizoma penyebab terjadinya bias gender dan kekerasan gender itu? Dalam perspektif teologis, khususnya teologi Kristen, bias gender bermula dari penghakiman secara sepihak bahwa Sitti Hawa lah sebagai aktor utama penyebab Adam jatuh ke bumi karena itu, memberinya sanksi adalah sebuah kepatutan. Stigma ekstrim yang dilekatkan ke Sitti Hawa adalah bahwa dirinya (perempuan) sebagai sumber dosa. Dalam teologi Islam, sejumlah kalangan (khususnya kelompok feminis Islam) juga menggugat beberapa teks-teks Islam yang dinilai seksis dan mensubordinasi perempuan.Di banyak kebudayaan, bias gender terpresentasi dalam berbagai variasi, bentuk, dan pola. Bias gender dapat ditelusuri mulai dari konstruksi bahasa/penamaan (gender marking), atributisasi yang bernuansa minor terhadap perempuan, perbedaan perlakuan hingga pada perbedaan akses terhadap berbagai sumberdaya yang teredia. Secara klasikal, bias gender lazimnya mengkonstruksi relasi yang rentan dan seringkali memicu kekerasan gender, atau spesifiknya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan berlangsung di dua ranah sekaligus, di ranah privat dan di ranah publik. Tulisan ini hendak berkontribusi dengan induksi gagasan yang relevan atau korelatif dengan diskursus gender yang sudah diarusutamakan (mainstream) saat ini. Substansi narasi yang diketengahkan menyentuh aspek-aspek yang terkait dengan fenomena kekerasan gender, posisi perempuan dalam ruang kebudayaan (privat dan domestik), asal mula kekerasan gender hingga pada tawaran untuk mengakhiri kekerasan gender melalui fraternisasi antarsex.","PeriodicalId":269429,"journal":{"name":"JURNAL SIPAKALEBBI","volume":"101 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2019-12-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"JURNAL SIPAKALEBBI","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24252/jsipakallebbi.v3i2.11776","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Relasi gender mewujud sebagai diskursus “sengit” di banyak ruang akademik, ruang politik, dan di ruang kebudayaan. Aktor sentrisnya adalah dualitas entitas yang senantiasa didudukkan secara tidak berkeadilan. Laki-laki mengekspresikan dririnya sebagai symbol supremasi yang hegemonik dan perempuan ditampilkan sebagai figur yang tersubordinasi. Dalam kondisi ini, relasi gender dipandang sebagai kondisi yang timpang dan bias gender. Pertanyaan paling mendasar adalah dimana akar rizoma penyebab terjadinya bias gender dan kekerasan gender itu? Dalam perspektif teologis, khususnya teologi Kristen, bias gender bermula dari penghakiman secara sepihak bahwa Sitti Hawa lah sebagai aktor utama penyebab Adam jatuh ke bumi karena itu, memberinya sanksi adalah sebuah kepatutan. Stigma ekstrim yang dilekatkan ke Sitti Hawa adalah bahwa dirinya (perempuan) sebagai sumber dosa. Dalam teologi Islam, sejumlah kalangan (khususnya kelompok feminis Islam) juga menggugat beberapa teks-teks Islam yang dinilai seksis dan mensubordinasi perempuan.Di banyak kebudayaan, bias gender terpresentasi dalam berbagai variasi, bentuk, dan pola. Bias gender dapat ditelusuri mulai dari konstruksi bahasa/penamaan (gender marking), atributisasi yang bernuansa minor terhadap perempuan, perbedaan perlakuan hingga pada perbedaan akses terhadap berbagai sumberdaya yang teredia. Secara klasikal, bias gender lazimnya mengkonstruksi relasi yang rentan dan seringkali memicu kekerasan gender, atau spesifiknya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan berlangsung di dua ranah sekaligus, di ranah privat dan di ranah publik. Tulisan ini hendak berkontribusi dengan induksi gagasan yang relevan atau korelatif dengan diskursus gender yang sudah diarusutamakan (mainstream) saat ini. Substansi narasi yang diketengahkan menyentuh aspek-aspek yang terkait dengan fenomena kekerasan gender, posisi perempuan dalam ruang kebudayaan (privat dan domestik), asal mula kekerasan gender hingga pada tawaran untuk mengakhiri kekerasan gender melalui fraternisasi antarsex.