{"title":"STRATEGI MENGHADAPI WARTAWAN ABAL-ABAL","authors":"Abdul Choliq Baya","doi":"10.35719/ijic.v1i1.91","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Pasca reformasi 1998, pertumbuhan media di Indonesia meningkat pesat, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999. Dimana salah satu isinya menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Iklim kebebasan kemudian mendorong pertumbuhan media dan perusahaan pers. Khususnya dengan tidak ada lagi persyaratan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sehingga, siapapun dengan mudah mendirikan perusahaan pers. Termasuk kemudahan mendirikan media berbasis internet yang mendorong menjamurnya jumlah media online (siber) di Indonesia. \nData media di Indonesia saat ini diperkirakan ada sekitar 2.000 media media cetak. Namun, dari jumlah perkiraan tersebut, hanya 321 media yang dapat disebut sebagai media profesional. Sedangkan media online/siber diperkirakan mencapai 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos syarat pendataan pada 2014 berjumlah 211 saja. Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online pada 2015. Selain itu, hingga akhir 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Pada 2015 jumlah media radio mengalami penyusutan menjadi 674 sedangkan televisi bertambah menjadi 523.[1] \nPesatnya pertumbuhan media ini terkait dengan adanya peluang bisnis baru yang menjanjikan di bidang media massa. Ada banyak pengusaha tergiur untuk mendirikan perusahaan pers. Mereka merekrut tenaga redaksi dari berbagai media untuk menjadi wartawan, redaktur hingga pemimpin redaksi di perusahaan pers baru dengan gaji yang lumayan menggiurkan. Termasuk, merekrut wartawan berintegritas rendah untuk ikut mendirikan media sebagai peluang bisnis. \nPosisi pers dan profesi wartawan yang strategis menjadi incaran baru untuk mendapatkan uang secara mudah. Hal inilah yang membuat ada banyak orang ingin menjadi wartawan dengan cara jalan pintas. Banyak mantan wartawan dan orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad mendirikan perusahan pers dengan modal minim. Ditambah lagi tidak melengkapi usahanya dengan legalitas hukum dan juga tak memenuhi standar perusahaan pers. \nKenyataan ini menimbulkan maraknya pertumbuhan media yang kemudian lebih dikenal sebagai media abal-abal. Media jenis ini memekerjakan wartawan secara sembarangan. Tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan ketrampilan jurnalistik. Pemilik media hanya memberikan kartu pers yang dibuatnya sendiri. Hal ini melahirkan wartawan instan tanpa bekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai. Mereka ada yang rela tanpa gaji. Bahkan, ada pula yang mewajibkan sang wartawan untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media. \n \n[1] Yosep Adi Prasetyo, IKP 2017: Kemerdekaan Membaik, Tapi Marak Penyalahgunaan, Pengantar Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2017, (Jakarta: Dewan Pers), hlm xi.","PeriodicalId":178637,"journal":{"name":"Indonesian Journal of Islamic Communication","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-07-29","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Indonesian Journal of Islamic Communication","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.35719/ijic.v1i1.91","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Pasca reformasi 1998, pertumbuhan media di Indonesia meningkat pesat, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999. Dimana salah satu isinya menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Iklim kebebasan kemudian mendorong pertumbuhan media dan perusahaan pers. Khususnya dengan tidak ada lagi persyaratan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sehingga, siapapun dengan mudah mendirikan perusahaan pers. Termasuk kemudahan mendirikan media berbasis internet yang mendorong menjamurnya jumlah media online (siber) di Indonesia.
Data media di Indonesia saat ini diperkirakan ada sekitar 2.000 media media cetak. Namun, dari jumlah perkiraan tersebut, hanya 321 media yang dapat disebut sebagai media profesional. Sedangkan media online/siber diperkirakan mencapai 43.300, tapi yang tercatat sebagai media profesional yang lolos syarat pendataan pada 2014 berjumlah 211 saja. Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online pada 2015. Selain itu, hingga akhir 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Pada 2015 jumlah media radio mengalami penyusutan menjadi 674 sedangkan televisi bertambah menjadi 523.[1]
Pesatnya pertumbuhan media ini terkait dengan adanya peluang bisnis baru yang menjanjikan di bidang media massa. Ada banyak pengusaha tergiur untuk mendirikan perusahaan pers. Mereka merekrut tenaga redaksi dari berbagai media untuk menjadi wartawan, redaktur hingga pemimpin redaksi di perusahaan pers baru dengan gaji yang lumayan menggiurkan. Termasuk, merekrut wartawan berintegritas rendah untuk ikut mendirikan media sebagai peluang bisnis.
Posisi pers dan profesi wartawan yang strategis menjadi incaran baru untuk mendapatkan uang secara mudah. Hal inilah yang membuat ada banyak orang ingin menjadi wartawan dengan cara jalan pintas. Banyak mantan wartawan dan orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad mendirikan perusahan pers dengan modal minim. Ditambah lagi tidak melengkapi usahanya dengan legalitas hukum dan juga tak memenuhi standar perusahaan pers.
Kenyataan ini menimbulkan maraknya pertumbuhan media yang kemudian lebih dikenal sebagai media abal-abal. Media jenis ini memekerjakan wartawan secara sembarangan. Tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan ketrampilan jurnalistik. Pemilik media hanya memberikan kartu pers yang dibuatnya sendiri. Hal ini melahirkan wartawan instan tanpa bekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai. Mereka ada yang rela tanpa gaji. Bahkan, ada pula yang mewajibkan sang wartawan untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media.
[1] Yosep Adi Prasetyo, IKP 2017: Kemerdekaan Membaik, Tapi Marak Penyalahgunaan, Pengantar Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2017, (Jakarta: Dewan Pers), hlm xi.