{"title":"TAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PEMUFAKATAN JAHAT OLEH KORUPTOR (STUDI PUTUSAN NOMOR 21/PUU-XIV/2016)","authors":"I. Syah","doi":"10.31849/respublica.v17i2.1833","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Harapan agar Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bertindak sebagai legislator (pembuat norma) ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Hal tersebut karena dalam beberapa perkara pengujian undang-undang yang diperiksa, diadili, dan diputusnya, MK justru bertindak sebagai lembaga pembuat norma (salah satunya dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016). Dengan demikian, ditinjau dari konsep kekuasaan negara, MK memiliki peran ganda, yaitu sebagai pemegang kekuasaan negara di bidang yudikatif dan legislatif. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah tafsiran MK terhadap pemufakatan jahat oleh koruptor serta hubungan antara pemufakatan jahat menurut Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan menurut Pasal 15 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) sebelum dan setelah ditetapkannya putusan a quo. Tafsiran MK terhadap pemufakatan jahat oleh koruptor adalah langkah yang tepat guna menjamin kepastian hukum. Akan tetapi, tindakan MK melakukan penafsiran tersebut adalah termasuk tindakan yang melanggar hukum. Dengan demikian, dalam mengadili dan memutus perkara a quo, MK mengambil peran negatif, yaitu menegakkan hukum dengan melanggar hukum. Hubungan antara pemufakatan jahat menurut Pasal 88 KUHP dengan menurut Pasal 15 UU PTPK sebelum ditetapkan putusan a quo adalah tidak diterapkannya asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis sedangkan setelah ditetapkan putusan a quo hubungannya adalah harus diterapkannya asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. ","PeriodicalId":138193,"journal":{"name":"Riau Law Journal","volume":"72 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2018-05-11","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Riau Law Journal","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.31849/respublica.v17i2.1833","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Harapan agar Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bertindak sebagai legislator (pembuat norma) ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Hal tersebut karena dalam beberapa perkara pengujian undang-undang yang diperiksa, diadili, dan diputusnya, MK justru bertindak sebagai lembaga pembuat norma (salah satunya dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016). Dengan demikian, ditinjau dari konsep kekuasaan negara, MK memiliki peran ganda, yaitu sebagai pemegang kekuasaan negara di bidang yudikatif dan legislatif. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah tafsiran MK terhadap pemufakatan jahat oleh koruptor serta hubungan antara pemufakatan jahat menurut Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan menurut Pasal 15 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) sebelum dan setelah ditetapkannya putusan a quo. Tafsiran MK terhadap pemufakatan jahat oleh koruptor adalah langkah yang tepat guna menjamin kepastian hukum. Akan tetapi, tindakan MK melakukan penafsiran tersebut adalah termasuk tindakan yang melanggar hukum. Dengan demikian, dalam mengadili dan memutus perkara a quo, MK mengambil peran negatif, yaitu menegakkan hukum dengan melanggar hukum. Hubungan antara pemufakatan jahat menurut Pasal 88 KUHP dengan menurut Pasal 15 UU PTPK sebelum ditetapkan putusan a quo adalah tidak diterapkannya asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis sedangkan setelah ditetapkan putusan a quo hubungannya adalah harus diterapkannya asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis.