{"title":"METODE TARJῙH ULAMA SYᾹFI’IYYAH TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT IMAM SYᾹFI’Ῑ","authors":"Helmi Helmi","doi":"10.54621/jiaf.v1i1.18","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Dalam ranah bermazhab, pendapat yang boleh dijadikan pegangan di saat berfatwa atau beramal bukanlah diambil secara sembarangan dengan tanpa melihat keabsahannya dari segi keaslian dan kesesuaiannya dengan metode ijtihad yang ditetapkan oleh imam mazhab. Tetapi untuk keperluan tersebut telah ditetapkan aturan yang berbentuk hirarki dalam berfatwa dan beramal. Artinya, jika seseorang ingin mengetahui fatwa atau jawaban dari sebuah mazhab yang dianggap merepresentasikan mazhab tertentu, maka mesti ia melihat pendapat yang telah diakui kalangan mazhab tersebut sebagai pendapat yang muktabar/mu’tamad (diakui) dalam mazhab. Sebab, faktanya imam mazhab bisa saja mempunyai beberapa pandangan dalam sebuah masalah, seperti halnya Imam Syāfi’ī (w. 204 H) yang memiliki dua pendapat, baik yang dikenal dengan istilah qawl qadīm (pendapat lama), dan qawl jadīd (pendapat baru), qawl azhhar dan muqābil-nya, (lawannya), maupun qawl masyhūr dan muqābi-nyal. Bahkan para mujtahid dalam mazhab ini kadangkala memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pendapat imam mazhabnya. Oleh sebab itu, ulama yang hidup pada abad VI H lebih mengarahkan perhatian mereka untuk berijtihad dalam upaya men-tarjīh berbagai pendapat imam mazhabnya maupun pendapat para mujtahid dalam mazhabnya yang saling bertentangan, hingga pendapat tersebut dianggap pendapat yang mewakili mazhab secara keseluruhan. Atau setidaknya menjadi pendapat yang dianggap sebagai pendapat terkuat yang diakui oleh mazhab. Para ulama yang menulis tentang thabaqāth a-l fuqahā` menyebut ulama jenis ini dengan sebutan mujtahid tarjīh, mujtahid tanqīh dan mujtahid fatwā. Dalam mazhab Syāfi’ī, ulama yang dianggap telah memberikan kontribusi sangat besar dalam men-tarjīh pendapat-pendapat yang saling bertentangan adalah al-Rāfi’ī (w. 623 H) dan al-Nawawī (w. 676 H) karena keduanya sangat selektif dalam menyaring pendapat yang sah dinisbatkan kepada al-Syāfi’ī dan memiliki metode tarjīh yang paling kuat, ilmiah, sistematis, integratif, serta lebih sesuai dengan kaidah-kaidah mazhab Syāfi‘ī. Dengan tidak bermaksud mengurangi kontribusi para ulama Syāfi’iyyah sebelum masa keduanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa para ulama Syāfi’iyyah sebelum masa keduanya lebih banyak mengarahkan perhatian mereka kepada pengembangan pendapat al-Syāfi’ī dan metodologinya, sedangkan kedua mujtahid tarjīh ini lebih memfokuskan kepada aspek pen-tarjīh-an pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Hal itu dilakukan keduanya karena tuntutan normatif dalam mengikuti pendapat ulama mazhab. Oleh karenanya, kedua mujtahid tarjīh ini merumuskan metode-metode yang dipakai dalam menguatkan salah satu pendapat yang saling berseberangan, sehingga hasil pen-tarjīh-an keduanya dipandang paling kuat dalam mazhab Syāfi’ī.","PeriodicalId":179328,"journal":{"name":"Jurnal Al-Fikrah","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-06-30","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Jurnal Al-Fikrah","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.54621/jiaf.v1i1.18","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Dalam ranah bermazhab, pendapat yang boleh dijadikan pegangan di saat berfatwa atau beramal bukanlah diambil secara sembarangan dengan tanpa melihat keabsahannya dari segi keaslian dan kesesuaiannya dengan metode ijtihad yang ditetapkan oleh imam mazhab. Tetapi untuk keperluan tersebut telah ditetapkan aturan yang berbentuk hirarki dalam berfatwa dan beramal. Artinya, jika seseorang ingin mengetahui fatwa atau jawaban dari sebuah mazhab yang dianggap merepresentasikan mazhab tertentu, maka mesti ia melihat pendapat yang telah diakui kalangan mazhab tersebut sebagai pendapat yang muktabar/mu’tamad (diakui) dalam mazhab. Sebab, faktanya imam mazhab bisa saja mempunyai beberapa pandangan dalam sebuah masalah, seperti halnya Imam Syāfi’ī (w. 204 H) yang memiliki dua pendapat, baik yang dikenal dengan istilah qawl qadīm (pendapat lama), dan qawl jadīd (pendapat baru), qawl azhhar dan muqābil-nya, (lawannya), maupun qawl masyhūr dan muqābi-nyal. Bahkan para mujtahid dalam mazhab ini kadangkala memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pendapat imam mazhabnya. Oleh sebab itu, ulama yang hidup pada abad VI H lebih mengarahkan perhatian mereka untuk berijtihad dalam upaya men-tarjīh berbagai pendapat imam mazhabnya maupun pendapat para mujtahid dalam mazhabnya yang saling bertentangan, hingga pendapat tersebut dianggap pendapat yang mewakili mazhab secara keseluruhan. Atau setidaknya menjadi pendapat yang dianggap sebagai pendapat terkuat yang diakui oleh mazhab. Para ulama yang menulis tentang thabaqāth a-l fuqahā` menyebut ulama jenis ini dengan sebutan mujtahid tarjīh, mujtahid tanqīh dan mujtahid fatwā. Dalam mazhab Syāfi’ī, ulama yang dianggap telah memberikan kontribusi sangat besar dalam men-tarjīh pendapat-pendapat yang saling bertentangan adalah al-Rāfi’ī (w. 623 H) dan al-Nawawī (w. 676 H) karena keduanya sangat selektif dalam menyaring pendapat yang sah dinisbatkan kepada al-Syāfi’ī dan memiliki metode tarjīh yang paling kuat, ilmiah, sistematis, integratif, serta lebih sesuai dengan kaidah-kaidah mazhab Syāfi‘ī. Dengan tidak bermaksud mengurangi kontribusi para ulama Syāfi’iyyah sebelum masa keduanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa para ulama Syāfi’iyyah sebelum masa keduanya lebih banyak mengarahkan perhatian mereka kepada pengembangan pendapat al-Syāfi’ī dan metodologinya, sedangkan kedua mujtahid tarjīh ini lebih memfokuskan kepada aspek pen-tarjīh-an pendapat-pendapat yang saling bertentangan. Hal itu dilakukan keduanya karena tuntutan normatif dalam mengikuti pendapat ulama mazhab. Oleh karenanya, kedua mujtahid tarjīh ini merumuskan metode-metode yang dipakai dalam menguatkan salah satu pendapat yang saling berseberangan, sehingga hasil pen-tarjīh-an keduanya dipandang paling kuat dalam mazhab Syāfi’ī.