{"title":"Keunggulan Seni dalam Pemulihan Kehidupan","authors":"A. Utami","doi":"10.24821/jtks.v9i1.9688","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Apa keunggulan seni dalam pemulihan kehidupan? Itu adalah sebuah pertanyaan besar—malah sangat besar—yang diajukan dalam dies natalis ISI Yogyakarta ini. Karena terlampau luas, kita boleh menjawabnya dengan cara apapun, serius maupun sambil lalu, praktis maupun teoretis, umum maupun khusus, makro maupun mikro. Saya ingin menjawabnya dengan melihat pengalaman Indonesia dan pengalaman pribadi. Tentu ini hanyalah salah satu alternatif jawaban. Ada suatu persoalan awal: Ketika saya bertindak, saya tidak terlalu berpikir. Ketika saya berpikir-pikir, kemungkinan besar saya jeda bertindak. Saya bekerja di dunia seni. Saat saya sedang bekerja, saya tidak memikirkan atau meragukan lagi bahwa saya menghargai kesenian. Misalnya, saat saya sedang menulis novel. Atau, saat sedang menulis surat kepada institusi yang akan mendukung festival yang kami selenggarakan. Saat berusaha memenuhi tenggat waktu. Saat bernegosiasi. Saat membuat proposal... Tapi, ketika diberi kesempatan merenung, maka saya mulai meragukan banyak hal. Apa itu seni? Apa itu kehidupan? Kenapa kehidupan perlu dipulihkan? Kenapa seni unggul dalam pemulihan kehidupan? (Atau, bagaimana seni bisa unggul dalam hal itu?) Kita, yang bekerja di dunia seni dan jujur, saya kira akan sampai pada kesimpulan ini: Kita tidak betul-betul tahu apa itu seni, tapi seni dipercaya oleh orang-orang yang menghidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. “Seni” ada karena dihidupi dan dihidupkan manusia. Maka, kita tidak berangkat dari pertanyaan ontologis atau epistemologis. Kita tidak mulai dengan definisi. Tak bertanya lagi apa itu seni. Kita berangkat dari kehidupan: dari laku dan nilai (bagaimana “seni” dihidupi dan dipercaya berharga). Untuk melihat ini, sesungguhnya sangat penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi rumah tangga para “pekerja seni”, selain proses kekaryaan. Merekalah yang menghidupi dan menghidupkan seni.","PeriodicalId":348706,"journal":{"name":"JURNAL TATA KELOLA SENI","volume":"1 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2023-07-10","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"JURNAL TATA KELOLA SENI","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.24821/jtks.v9i1.9688","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Apa keunggulan seni dalam pemulihan kehidupan? Itu adalah sebuah pertanyaan besar—malah sangat besar—yang diajukan dalam dies natalis ISI Yogyakarta ini. Karena terlampau luas, kita boleh menjawabnya dengan cara apapun, serius maupun sambil lalu, praktis maupun teoretis, umum maupun khusus, makro maupun mikro. Saya ingin menjawabnya dengan melihat pengalaman Indonesia dan pengalaman pribadi. Tentu ini hanyalah salah satu alternatif jawaban. Ada suatu persoalan awal: Ketika saya bertindak, saya tidak terlalu berpikir. Ketika saya berpikir-pikir, kemungkinan besar saya jeda bertindak. Saya bekerja di dunia seni. Saat saya sedang bekerja, saya tidak memikirkan atau meragukan lagi bahwa saya menghargai kesenian. Misalnya, saat saya sedang menulis novel. Atau, saat sedang menulis surat kepada institusi yang akan mendukung festival yang kami selenggarakan. Saat berusaha memenuhi tenggat waktu. Saat bernegosiasi. Saat membuat proposal... Tapi, ketika diberi kesempatan merenung, maka saya mulai meragukan banyak hal. Apa itu seni? Apa itu kehidupan? Kenapa kehidupan perlu dipulihkan? Kenapa seni unggul dalam pemulihan kehidupan? (Atau, bagaimana seni bisa unggul dalam hal itu?) Kita, yang bekerja di dunia seni dan jujur, saya kira akan sampai pada kesimpulan ini: Kita tidak betul-betul tahu apa itu seni, tapi seni dipercaya oleh orang-orang yang menghidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. “Seni” ada karena dihidupi dan dihidupkan manusia. Maka, kita tidak berangkat dari pertanyaan ontologis atau epistemologis. Kita tidak mulai dengan definisi. Tak bertanya lagi apa itu seni. Kita berangkat dari kehidupan: dari laku dan nilai (bagaimana “seni” dihidupi dan dipercaya berharga). Untuk melihat ini, sesungguhnya sangat penting untuk melakukan penelitian tentang ekonomi rumah tangga para “pekerja seni”, selain proses kekaryaan. Merekalah yang menghidupi dan menghidupkan seni.