KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PEMBERI DAN PENERIMA GRATIFIKASI BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (DALAM RANGKA PEMBAHARUAN REGULASI GRATIFIKASI DI INDONESIA)”

Alvan Kharis
{"title":"KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PEMBERI DAN PENERIMA GRATIFIKASI BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (DALAM RANGKA PEMBAHARUAN REGULASI GRATIFIKASI DI INDONESIA)”","authors":"Alvan Kharis","doi":"10.47353/delarev.v1i2.13","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa gratifikasi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan sanksi bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagai penerima Gratifikasi berdasarkan ketentuan Pasal 12 huruf (a) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman sanksi pidana penjara maksimal seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sedangkan pemberi gratifikasi hanya dikenakan sanksi pidana yang lebih ringan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Padahal pemberi gratifikasi merupakan causa Proxima (asal mula) penyebab terjadinya tindak pidana gratifikasi. Alasan pengaturan ancaman sanksi pidana yang lebih berat terhadap penerima gratifikasi dikarenakan penerima gratifikasi merupakan pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menjalankan tugas negara, namun yang juga menjadi masalah bahwa di dalam Pasal 5 ayat (2) juga mengatur sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai penerima gratifikasi yang justru ancaman sanksi pidananya sama dengan ancaman sanksi pidana bagi pemberi gratifikasi dalam Pasal 5 ayat (1) dengan sistem perumusan sanksi pidana yang berbeda dengan Pasal 12 huruf (a). Didalam Pasal 12 huruf (a) sistem rumusan sanksi pidananya bersifat “kumulatif”, sedangkan Pasal 5 ayat (2) bersifat “kumulatif- alternatif “ . Pasal 12 huruf (a) dengan Pasal 5 ayat (2) yang mengatur perbuatan yang serupa akan tetapi dengan sistem perumusan sanksi pidana yang berbeda ditambah dengan ancaman sanksi pidana bagi pemberi gratifikasi dan penerima gratifikasi yang demikian berbeda akan menimbulkan ketidakadilan dalam penerapannya. Oleh karena itu menurut penulis Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkhusus pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 huruf (a) perlu dilakukan “law reform” sebagai upaya pembaharuan regulasi gratifikasi di negara Indonesia, karena regulasi yang demikian buruknya dalam penegakan hukum tidaklah akan mampu melahirkan suatu keadilan,sedangkan keadilan hukum itu sendiri merupakan tujuan hukum yang paling utama dalam penegakan hukum.","PeriodicalId":135172,"journal":{"name":"Lakidende Law Review","volume":"36 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2022-08-25","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"Lakidende Law Review","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.47353/delarev.v1i2.13","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0

Abstract

Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa gratifikasi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan sanksi bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagai penerima Gratifikasi berdasarkan ketentuan Pasal 12 huruf (a) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman sanksi pidana penjara maksimal seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sedangkan pemberi gratifikasi hanya dikenakan sanksi pidana yang lebih ringan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Padahal pemberi gratifikasi merupakan causa Proxima (asal mula) penyebab terjadinya tindak pidana gratifikasi. Alasan pengaturan ancaman sanksi pidana yang lebih berat terhadap penerima gratifikasi dikarenakan penerima gratifikasi merupakan pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menjalankan tugas negara, namun yang juga menjadi masalah bahwa di dalam Pasal 5 ayat (2) juga mengatur sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai penerima gratifikasi yang justru ancaman sanksi pidananya sama dengan ancaman sanksi pidana bagi pemberi gratifikasi dalam Pasal 5 ayat (1) dengan sistem perumusan sanksi pidana yang berbeda dengan Pasal 12 huruf (a). Didalam Pasal 12 huruf (a) sistem rumusan sanksi pidananya bersifat “kumulatif”, sedangkan Pasal 5 ayat (2) bersifat “kumulatif- alternatif “ . Pasal 12 huruf (a) dengan Pasal 5 ayat (2) yang mengatur perbuatan yang serupa akan tetapi dengan sistem perumusan sanksi pidana yang berbeda ditambah dengan ancaman sanksi pidana bagi pemberi gratifikasi dan penerima gratifikasi yang demikian berbeda akan menimbulkan ketidakadilan dalam penerapannya. Oleh karena itu menurut penulis Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkhusus pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 huruf (a) perlu dilakukan “law reform” sebagai upaya pembaharuan regulasi gratifikasi di negara Indonesia, karena regulasi yang demikian buruknya dalam penegakan hukum tidaklah akan mampu melahirkan suatu keadilan,sedangkan keadilan hukum itu sendiri merupakan tujuan hukum yang paling utama dalam penegakan hukum.
根据《无证条例》对施与者和接受酬金的刑事处罚方案。1999年6月3日法案2001年根除腐败犯罪(为了印尼的免费监管更新)
根据研究的结果可以知道乔酬金安排在1999年第31号法案2001年第20号法案批准的关于根除腐败重罪或组织者作为国家公务员酬金接收器根据宪法条款第12章字母(a)根除腐败重罪刑事制裁的威胁监狱终身最高刑事或最短4(4年)和最多20(20)年重罪罚款至少是2000万卢比(2000万美元)和最多1000万卢比(100万卢比),而较轻的酬金只是受到刑事制裁者根据第5章第(1)节规定法律根除腐败重罪刑事制裁威胁监狱最短1(一年)和最多五(5)年或者刑事罚金最少50.000.000,00卢比(50万美元)和Rp 250.000.000,00最多(二百五十美元)。小费是导致小费犯罪的罪魁祸首。对批准者实施更严厉的刑事制裁威胁的原因是,批准者是履行国家职责的公务员或国家组织者。但你也成为问题,一章的5节(2)也为国家公务员或组织者安排刑事制裁作为受益人的酬金却反常等于给予刑事制裁威胁制裁威胁给小费的一章5节(1)不同的刑事制裁制定系统的字母(a)第12章。第12章里字母(a)公式不是反常的制裁制度具有“累积”,而第5章第2节的定义是“累积的替代”。第12个字母章节(a)和第5节(2节)的规则类似,但不同的刑事制裁制度加上对不同的给予者和接受者的刑事制裁威胁,将在应用过程中造成不公正。因此,根据1999年《第31条》一书的作者乔·苏(jo)的2001年第5条(1)、(2)和第12条(a)中专门打击腐败罪行的2001年第20条,需要通过“法律改革”作为印尼国家的一项更新协议,因为执法如此糟糕的监管不会产生正义,而法律正义本身是执法的首要目标。
本文章由计算机程序翻译,如有差异,请以英文原文为准。
求助全文
约1分钟内获得全文 求助全文
来源期刊
自引率
0.00%
发文量
0
×
引用
GB/T 7714-2015
复制
MLA
复制
APA
复制
导出至
BibTeX EndNote RefMan NoteFirst NoteExpress
×
提示
您的信息不完整,为了账户安全,请先补充。
现在去补充
×
提示
您因"违规操作"
具体请查看互助需知
我知道了
×
提示
确定
请完成安全验证×
copy
已复制链接
快去分享给好友吧!
我知道了
右上角分享
点击右上角分享
0
联系我们:info@booksci.cn Book学术提供免费学术资源搜索服务,方便国内外学者检索中英文文献。致力于提供最便捷和优质的服务体验。 Copyright © 2023 布克学术 All rights reserved.
京ICP备2023020795号-1
ghs 京公网安备 11010802042870号
Book学术文献互助
Book学术文献互助群
群 号:481959085
Book学术官方微信