{"title":"PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ALTENATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) MENURUT HUKUM ADAT BIMA","authors":"Adhar Adhar, A. Ardiansyah","doi":"10.58258/jihad.v2i1.1110","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Penyelesaian sengketa di luar pengadilan banyak digunakan, karena dipandang efisien, cukup memuaskan pihak-pihak bersengketa, dan banyak memberikan kemudahan-kemudahan yang tidak diperoleh dalam pengadialn resmi. Begitupun yang dilakukan masyarakat Bima dalam menyelesaiakan perkara keperdataan masih menggunkan hukum adat yang berlaku di daerah setempat dalam hal ini aturan yang dibuat oleh kesultanan Bima yang masih dipakai menjadi pengaturan dan tata cara penyelsaiannya di luar proses pengadilan. Hukum adat tanah Bima, dalam bahasa daerah Bima disebut “Hukum Bicara” yang tertulis dalam buku catatan-catatan kerajaan Sultanan Bima merupakan salinan dari naskah Hukum Bicara yang berlaku sejak abad sebelumnya. Penyelesaian sengketa menurut hukum adat Bima yaitu dari perkara-perkara yang muncul di dalam perjanjian atau pun dalam sengketa keperdataan jarang sampai ke pengadilan melainkan hanya diselesaikan secara kekeluargaan atau dengan cara Mediasi dan cara Negosiasi, sesuai dengan adat dan kebiasaan masyarakat di Bima. Hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat di Kota Bima masih menjunjung tinggi Adat Istiadat yang telah lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang sudah ada dari zaman nenek moyang terdahulu. Selain itu rasa percaya serta rasa kekeluargaan juga masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat di Kota Bima khususnya dikalangan masyarakat awam terutama di kalangan petani yang melakukan Sewa-menyewa tanah pertanian seperti ini. Kemudian Proses Penyelesaian melalui Nogosiasi, dan Mediasi menurut hukum adat Bima yaitu adat merupakan cerminan dari padangan hidup yang ditempatkan pada istisusi sosial warga Bima sebagai suasuatu yang sakral. Sakralisasi hukum adat ini ditandai dengan ketaatan yang meniyikat setiap jiwa anggota masyarakat. Dalam penyelesaian sengketa hukum adat mengatur penyelesaian yang berlandaskan musyawara mufakat dalam kehidupan masyarakat Bima di dalam jiwa dan proses-proses di luar Pengadilan. Proses negosisi merupakan cara paling utama yang dilakukan masyarakat hukum adat Bima dalam penyelesaian sengeketa dan jika tidak penyesaian dalam nogosiasi tidak memenuhi kata sepakat maka akan dilanjutkan ke mediasi, dimana melibatkan pihak ketiga yang berkompeten hal ini tokoh masyarakat yang ada di Bima sebagai mediator.","PeriodicalId":231605,"journal":{"name":"JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi","volume":" 4","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2020-03-14","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"1","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.58258/jihad.v2i1.1110","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 1
Abstract
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan banyak digunakan, karena dipandang efisien, cukup memuaskan pihak-pihak bersengketa, dan banyak memberikan kemudahan-kemudahan yang tidak diperoleh dalam pengadialn resmi. Begitupun yang dilakukan masyarakat Bima dalam menyelesaiakan perkara keperdataan masih menggunkan hukum adat yang berlaku di daerah setempat dalam hal ini aturan yang dibuat oleh kesultanan Bima yang masih dipakai menjadi pengaturan dan tata cara penyelsaiannya di luar proses pengadilan. Hukum adat tanah Bima, dalam bahasa daerah Bima disebut “Hukum Bicara” yang tertulis dalam buku catatan-catatan kerajaan Sultanan Bima merupakan salinan dari naskah Hukum Bicara yang berlaku sejak abad sebelumnya. Penyelesaian sengketa menurut hukum adat Bima yaitu dari perkara-perkara yang muncul di dalam perjanjian atau pun dalam sengketa keperdataan jarang sampai ke pengadilan melainkan hanya diselesaikan secara kekeluargaan atau dengan cara Mediasi dan cara Negosiasi, sesuai dengan adat dan kebiasaan masyarakat di Bima. Hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat di Kota Bima masih menjunjung tinggi Adat Istiadat yang telah lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang sudah ada dari zaman nenek moyang terdahulu. Selain itu rasa percaya serta rasa kekeluargaan juga masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat di Kota Bima khususnya dikalangan masyarakat awam terutama di kalangan petani yang melakukan Sewa-menyewa tanah pertanian seperti ini. Kemudian Proses Penyelesaian melalui Nogosiasi, dan Mediasi menurut hukum adat Bima yaitu adat merupakan cerminan dari padangan hidup yang ditempatkan pada istisusi sosial warga Bima sebagai suasuatu yang sakral. Sakralisasi hukum adat ini ditandai dengan ketaatan yang meniyikat setiap jiwa anggota masyarakat. Dalam penyelesaian sengketa hukum adat mengatur penyelesaian yang berlandaskan musyawara mufakat dalam kehidupan masyarakat Bima di dalam jiwa dan proses-proses di luar Pengadilan. Proses negosisi merupakan cara paling utama yang dilakukan masyarakat hukum adat Bima dalam penyelesaian sengeketa dan jika tidak penyesaian dalam nogosiasi tidak memenuhi kata sepakat maka akan dilanjutkan ke mediasi, dimana melibatkan pihak ketiga yang berkompeten hal ini tokoh masyarakat yang ada di Bima sebagai mediator.