{"title":"Setelah Kesunyian 50 tahun Disuarakan lewat Buku dan Film Dokumenter","authors":"Maria Hartiningsih","doi":"10.52290/i.v12i2.48","DOIUrl":null,"url":null,"abstract":"Tak banyak orang membaca berita mengenai kepulangan Jan Ruff-O’Herne pada pagi tanggal 19 Agustus 2019 di rumahnya, di Adelaide, Australia, dikelilingi oleh anak, cucu dan cucu buyutnya. Usianya 96 tahun. Jan Ruff-O’Herne meninggalkan jejak perjuangan selama lebih lima dekade untuk berkampanye melawan pemerkosaan dalam perang dan menghabiskan sisa hidupnya untuk merebut kembali martabatnya. Dia adalah perempuan Eropa pertama yang berani bersaksi di depan publik secara terbuka. Dia merobek kebisuan sejarah hitam yang ditolak untuk waktu yang sangat lama oleh pihak yang melakukannya. Untuk itu, dia menerima berbagai penghargaan, di antaranya dari Pemerintah Australia, Pemerintah Belanda, dan Vatikan. O’Herne adalah salah satu dari sedikit perempuan Eropa di wilayah pendudukan Jepang selama Perang Dunia II yang dipaksa menjadi budak seks. Sebagian besar berasal dari Asia, yakni Korea (terbesar), Indonesia, Filipina, China dan Taiwan. Dia menjadi satu-satunya survivor yang berjuang untuk menolak penggunaan istilah “comfort women”. Comfort mengandung arti sesuatu yang lembut aman dan ramah. “Kami ini korban perkosaan dan serangan seksual dalam masa perang oleh tentara Kerajaan Jepang”. O’Herne menuntut permintaan maaf Pemerintah Jepang secara pribadi dan berada dalam barisan survivor yang menolak kompensasi berupa uang dari Asian Women Fund. Dia juga menekankan bagaimana perkosaan menjadi alat untuk menundukkan dalam perang sehingga harus dilihat sebagai kejahatan kriminal perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan yang menarik lainnya adalah testimoni atas Jan Ruff-O’Herne ini juga dibentuk menjadi sebuah film dokumenter yang diproduksi di Australia dengan sutradara Ned Lander, berjudul 50 Years of Silence (1994).","PeriodicalId":132130,"journal":{"name":"IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, & Media Baru","volume":"35 1","pages":"0"},"PeriodicalIF":0.0000,"publicationDate":"2021-07-31","publicationTypes":"Journal Article","fieldsOfStudy":null,"isOpenAccess":false,"openAccessPdf":"","citationCount":"0","resultStr":null,"platform":"Semanticscholar","paperid":null,"PeriodicalName":"IMAJI: Film, Fotografi, Televisi, & Media Baru","FirstCategoryId":"1085","ListUrlMain":"https://doi.org/10.52290/i.v12i2.48","RegionNum":0,"RegionCategory":null,"ArticlePicture":[],"TitleCN":null,"AbstractTextCN":null,"PMCID":null,"EPubDate":"","PubModel":"","JCR":"","JCRName":"","Score":null,"Total":0}
引用次数: 0
Abstract
Tak banyak orang membaca berita mengenai kepulangan Jan Ruff-O’Herne pada pagi tanggal 19 Agustus 2019 di rumahnya, di Adelaide, Australia, dikelilingi oleh anak, cucu dan cucu buyutnya. Usianya 96 tahun. Jan Ruff-O’Herne meninggalkan jejak perjuangan selama lebih lima dekade untuk berkampanye melawan pemerkosaan dalam perang dan menghabiskan sisa hidupnya untuk merebut kembali martabatnya. Dia adalah perempuan Eropa pertama yang berani bersaksi di depan publik secara terbuka. Dia merobek kebisuan sejarah hitam yang ditolak untuk waktu yang sangat lama oleh pihak yang melakukannya. Untuk itu, dia menerima berbagai penghargaan, di antaranya dari Pemerintah Australia, Pemerintah Belanda, dan Vatikan. O’Herne adalah salah satu dari sedikit perempuan Eropa di wilayah pendudukan Jepang selama Perang Dunia II yang dipaksa menjadi budak seks. Sebagian besar berasal dari Asia, yakni Korea (terbesar), Indonesia, Filipina, China dan Taiwan. Dia menjadi satu-satunya survivor yang berjuang untuk menolak penggunaan istilah “comfort women”. Comfort mengandung arti sesuatu yang lembut aman dan ramah. “Kami ini korban perkosaan dan serangan seksual dalam masa perang oleh tentara Kerajaan Jepang”. O’Herne menuntut permintaan maaf Pemerintah Jepang secara pribadi dan berada dalam barisan survivor yang menolak kompensasi berupa uang dari Asian Women Fund. Dia juga menekankan bagaimana perkosaan menjadi alat untuk menundukkan dalam perang sehingga harus dilihat sebagai kejahatan kriminal perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan yang menarik lainnya adalah testimoni atas Jan Ruff-O’Herne ini juga dibentuk menjadi sebuah film dokumenter yang diproduksi di Australia dengan sutradara Ned Lander, berjudul 50 Years of Silence (1994).
2019年8月19日上午,扬·鲁夫·奥赫恩(Jan ruffo - o herne)在澳大利亚阿德莱德的家中被他的孩子、孙子和曾孙所包围。他96岁了。Jan ruffo - o 'Herne留下了50多年的斗争,他在战争中反对强奸,并将他的余生重新获得尊严。她是第一个有勇气公开作证的欧洲女性。他打破了被党人拒绝了很长时间的黑人历史沉默。为此,他获得了澳大利亚政府、荷兰政府和梵蒂冈的各种奖项。奥赫恩是二战期间日本占领领土上为数不多的被强迫成为性奴隶的欧洲妇女之一。他们大多来自亚洲,韩国(最大),印尼、菲律宾和中国台湾。他是唯一的幸存者为女性拒绝使用“安慰”。“舒适”的意思是温和、安全、友好。“我们是日本帝国军队在战争期间强奸和性侵犯的受害者。”奥荷恩要求日本政府亲自向幸存者道歉他们拒绝亚洲妇女基金的赔偿他还强调强奸是如何在战争中被用作手段的,因此应该被视为战争罪行和反人类罪行。另一个值得注意的是,关于扬·鲁夫-奥荷恩的证词也被制成一部纪录片,由导演奈德·兰德在澳大利亚制作,书名是《50年的沉默》(1994年)。